PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 4/PUU-VI/2009 TENTANG HAK POLITIK WARGA NEGARA

 

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 4/PUU-VI/2009 TENTANG HAK POLITIK WARGA NEGARA

 

PENDAHULUAN

 

            Prinsip negara kedaulatan rakyat telah diakomodir berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 khusus untuk persyaratan tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), dikeecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang. Sedangkan syarat berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip Negara Hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menganut asas persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, asas tidak diskriminatif, asas memperoleh kesempatan yang sama, asas keadilan dan asas proporsionalitas.

            Hak politik adalah hak yang diperoleh seseorang dalam kapasitasnaya sebagai seorang anggota organisasi politik, seperti hak memilih dan dipilih, mencalonkan diri dan memegang jabatan umum dalam negara. Hak politik juga dapat didivenisikan sebagai Hak-Hak dimana individu dapat memberi andil, melalui hak tersebut, dalam mengelola masalah-masalah negara atau pemerintahannya.

            Keputussan yang akhirnya dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi didasarkan pada UUD 1945 pasal 27 (1), pasal 28c (1), pasal 28d (1), dan (3). Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa norma hukum yang berbunyi: “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara selama 5 tahun / lebih” yang terdapat dalam pasal 12 huruf g dan Pasal 50 (1) hurup g Undang-Undang No 12 tahun 2008 tentang Pemda bertentangan dengan UUD 1945. Putusan ini tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat.

 

PEMBAHASAN

 

Pembahasan Hak Politik Menurut Putussan Mahkamah Konstitusi No. 4/ PUU-VI/2009

            Pada prinsipnya, seseorang yang telah menjalani masa hukumannya, merupakan warga negara yang bebas sehingga memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnaya untuk menduduki sebuah jabatan politik. Hak-hak konstitusional para mantan narapidana (napi), harus dipulihkan sebagaimana yang dijamin oleh UUD1945. Terdapat sejumlah perundang-undangan yang merumuskan syarat bagi calon pejabat publik dan negara yang melanggar hak konstitusional warga negara, yakni tidak pernah dijatuhi hukuman penjara di antaranya UU No 23 Tahun 2003 tentang pemilu Presiden dan wakil Presiden tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan pidana yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih. Selain itu, UU No 23 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah juga mencantumkan syarat yang sama bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

            Demikian pula dalam undang-undang No 22 Tahun2007 tentang penyelenggaraan pemilu, disebutkan syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara bagi calon anggota Komisi Pemilihan Umum pusat, provinsi, kabupaten dan kota. Padahal pasal 27 ayat (1) UUD 1945 setiap warga negara berssasmaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Lebih tegas lagi pasal 28 D ayat 3 UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlundungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama dihadapan hukum.

            Pasca putusan MK No 4/PUU/-VII/2009 tentang diperbolehkannya mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai anggota Legislatif, DPD dan Kepala Daerah ternyata tidak begitu saja diterima oleh masyarakat. Sebab mereka menganggap bahwa seorang mantan yang pernah dipenjara adalah seorang yang cacat moril dan identik dengan berbuat yang tidak baik. Jadi masyarakt memberikan cap atau lebel yang kurang baik terhadap mantan narapidana.

            MK No 4/PUU/-VII/2009 tentang diperbolehkannya mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai anggota Legislatif, DPD dan Kepala Daerah dengan syarat-syarat tertentu, telah mengembalikan hak-hak rakyat yakni hak seorang mantan narapidana untuk ikut berpartisipasi dalam politik dan hak yang sama dihadapan hukum. Sebab dia sudah menjalani hukumannya dan bertobat, diakui sebagai mantan narapidana, dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang. Tetapi didak diberikan wewenang pada jabatan yang membutuhkan kepercccayaan tinggi dari masyarakat seperti jabatan Hakim, sebagai keuangan Negara dan sebagainya.

            Dalam pasal 12 huruf g dan pasal 50 (1) huruf g UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, Pasal 58 huruf f UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemdda bertentangan dengan UUD 1945. Dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat. Sebab jika norma hukum yang terkandung dalam pasal a quo tetap diberlakukan tanpa syarat-syarat tertentu dapat menegasi atau mengingkari prinsip penamaan kedudukan didalam hukum dan pemerintahan serta hak melanggar hak seorang warga negara atas perlakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan hukum yang sama dihadapan hukum dan hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Sebagimana yang dijamin oleh UUD 1945 terutama Pasal-Pasal sebagi berikut : Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28c ayat (2), Pasal 28d ayat(1) dan Pasal 28d ayat (3).

 

Implementasi MK No 4/PUU/-VII/2009 Terhadap UU No 10 Tahun 2008 dan UU No 12 Tahun 2008.

           

            Implentasi putusan MK terhadap Pasal 12 huruf g dan Pasal 50(1) UU No 10 tahun 2008 dadn pasal 58 huruf f UU No 12 tahun 2008 yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, implentasinya adalah  bahwa putusan Mahkamah tentang pengujian sebuah UU baru berlaku dalam makna mempunyai kekuatan hukum tetap sejak putusasn itu selesai dibacakan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umumm, putusan MK itu tidak mempunyai kekuatan berlaku surut atau retroaktif.

            Inplentasi lain pasca MK No 4/PUU/-VII/2009, yakni pada aspek politik, dimana MK membuka kesempaatan bagi mantan narapidana untuk dapat menduduki jabatan publik yang dipilih. Atas dasar pertimbangamn tersebutlah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal-Pasal yang tercantum dalam UU Pemilu Legislatif dan UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Ini berarti Mahkamah Konstitusi membuka lebar bagi mantan narapidana untuk dapat menduduki jabatan publik yang dipilih. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi telah menegakkan keadilan dan menghapus diskriminasi antar sesama rakyat Indonesia dalam pemerintahan. Setelah MK No 4/PUU/-VII/2009, diharapkan tidak ada lagi stigma yang buruk terhadap seorang mantan narapidana, tidak lagi dicurigai, diasingkan, dan dapat diterima dalam masyarakat. Sebab tujuan dari pemidanaan adalah membebaskan narapidana secara mental dan spiritual. Dengan tujuan pembebasan tersebut, narapidana seoleh olah mengalami kelahiran kembali secara mental spiritual dan akan melepaskan segala cara berpikir, kebiasaan, dan gaya kehidupan yang lama. Pemulihan kembali hak-hak dan kebebasan tersebut ditujukan agar orang yang telah menjalani hukuman dapat aktif dan berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.

            Secara tioritis, seorang pelaku kejahatan yang telah dijatuhi pidana dan menyelesaikan masa pidananya dengan baik, maka orang tersebut lepas dari segala kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan telah dibayar dengan pemidanaan. Kalau masih terjadi perlakuan diskriminatif terhadap mantan narapidana maka tujuan pemidanaan tidak tercapai atau gagal. Hal ini terlihat pada Pasal 12 huruf g dan Pasal 50(1) UU No 10 tahun 2008 dan pasal 58 huruf f UU No 12 tahun 2008 yang telah dibuat oleh para pembentuk UU yang masih mendiskriminasikan mantan napi dengan yang bukan, dan menganggap mantan napi adalah orang yang harus dicurigai tercela, ccacat moralnya dantidak pantas menduduki jabatan publik yang dipilih (DPR, DPD, DPRD, Kepala Daerah maupun Presiden).

            Pasca putusan MK No 4/PUU/-VII/2009 tentang diperbolehkannya mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai anggota Legislatif, DPD, dan Kepala Daerah ternyata tidak begitu saja diterima oleh masyarakat. Sebab mereka menganggap bahwa seorang mantan yang pernah dipenjara adalah seorang yang dicacat moral dan identik dengan berbuat yang tidak baik. Jadi masyarakat memberikan cap atau lebel yang kurang baik terhadap mantan narapidana.

            Banyak masyarakat yang berargumentasi bahwa untuk menjadi pegawai saja diperlukan surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian, apalagi untuk menduduki jabatan pemerintahan, sehingga mereka berpendapat apa jadinya jika sebuah pemerintahan dipegang oleh orang-orang yang tidak mempunyai moral yang baik, pasti akan sering berbuat hal-hal yang akan merugikan rakyat. Argumentasi tersebut hanya melihat dari segi negatifnya tanpa mau melihat dari segi positifnya dari seorang mantan narapidana.

 

KESIMPULAN

 

            putusan MK No 4/PUU/-VII/2009 yang telah memutuskan bahwa Pasal 12 huruf g dan Pasal 50(1) UU No 10 tahun 2008 dan pasal 58 huruf f UU No 12 tahun 2008 tentang pemda bertentangan dengan Undang-Undang 1945, sehingga pasca putusan Mahkamah Konstitusi telah memulihkan Hak Politik seorang mantan narapidana boleh menjadi anggota Legislatif, DPD, dan Kepala Daerah.

Pasca putusan MK No 4/PUU/-VII/2009 mengundang inplimintasi positif dan cukup dan mengembirakan publik. Implimintasi tersebut adalah mengenai posisi yuridis Pasal 12 huruf g dan Pasal 50(1) UU No 10 tahun 2008 dan pasal 58 huruf f UU No 12 tahun 2008, yakni pasal-pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-ayarat tertentu. Selain itu juga berimplimentasi pada aspek politik yakni putusan MK telah membuka kesempatan bagi mantan narapidana untuk dapat menduduki jabatan publik yang dipilih.

            Dengan kedua implimintasi positif tersebut, maka hak-hakn konstitusional mantan narapidana sebagai warga negara atas perlakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum dan hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagimana dijamin dalam UUD 1945 khususnya Pasal 27 (1), pasal 28c (2), pasal 28D (1) dan (3), telah kembali seperti dengan warga negara lainya, artinya tidak ada lagi diskriminasi diantara warga negara mantan narapidana dengan warga negara yang bukan mantan narapidana.

Comments

Popular posts from this blog

Kunjungan Himpunan Pelajar Mahasiswa Pemuda Kempas-Pekanbaru (Hipmas-Pekanbaru) Masyarakat dan Pemuda Desa Sungai Gantang

Tindak Lanjut Hasil Penanganan Diduga Terjadinya Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu

Laporan Temuan Dugaan Pelanggaran Pemilu